Dewasa ini kaum perempuan sebagian
besar berada dalam lini terdepan dalam semua bidang. Seperti yang sering saya
amati dalam bermasyarakat. Ada beberapa supir (busway) yang dikendarai oleh perempuan. Kondektur bus, maupun angkot juga. Pilot. Bahkan hal terbesar yang
pernah terjadi ketika Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
perempuan yaitu Ibu Mega Wati Soekarno Putri.
Sudah hampir 5 tahun belakangan
ini, suara-suara perempuan mulai terdengar. Kalau dilihat secara kasat mata,
perempuan masa kini lebih berani menentukan sikap dan konsistensinya. Tak jarang
juga, perempuan masa kini hampir sebagian menjadi role model yang patut ditiru. Mulai dari berbagai kesuksesannya, menentang
arus dalam dunia kerja.
Namun, di sisi lain juga
terdapat berbagai fakta yang hampir nyata bahkan disekitar saya sendiri ada
sedikitnya ketidakadilan pada perempuan, bisa saya sebut “diskriminasi gender”.
Dapat saya gambarkan sedikit beberapa “diskriminasi gender” seperti, sulitnya
menentukan pilihan hidup, ketika harus disuruh
orangtua segera menikah. Alih-alih jika tidak segera menikah dianggap sesuatu
yang buruk (perawan tua). Banyak para gadis, akhirnya manut dan tunduk pada orangtua, ditambah lagi dengan dijodohkan. Terdapat
hak-hak perempuan yang bias ketika pendiskriminasian hal ini terkait dengan
hak-hak reproduksi para perempuan, sebagaimana kita ketahui dalam UU no.1 tahun
1974 tentang perkawinan pasal 1 “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Jelas bahwa, jika terdapat paksaan untuk menikah,
itu telah melanggar pasal 1 UU no.1 tahun 1974 juga tentunya terkait dengan hak
reproduksi yang dimiliki perempuan.
Contoh lain, yang sering saya
temui adalah teman-teman lingkungan saya ketika pacaran, ada sebagian yang
mengatakan saat ia berpacaran dengan pacarnya (laki-laki), sudah susah
untuk ngumpul bersama teman-teman
laki-laki maupun perempuan, hal ini bisa dikatakan posesif, bahkan bisa juga dikatakan kekerasan secara batin. Memang,
secara fisik tidak kelihatan dan hubungan dengan pacar juga baik-baik saja. Tapi,
ada ruang privasi seseorang yang dibatasi oleh oranglain, padahal tiap-tiap
individu bebas untuk berteman, berorganisasi dengan teman-teman yang lain baik
laki-laki maupun perempuan. Dan lebih parahnya lagi, karena sang perempuan
merasa sayang dan cinta pada sang pacar, ia merasa hal tersebut biasa-biasa
saja. Bagaimana jika hal tersebut berkelanjutan dalam biduk rumah tangga??
Berbicara gender, memang tak
akan ada habisnya. Mungkin akan habis-habisan
ketika berbicara gender saat memilih sudut pandang perempuan sebagai objek (yang
dikenai diskriminasi).
Sudah diketahui memang, ibas
terhadap diskriminasi gender, kaum perempuan lah yang sering menjadi korban. Mulai
dari kekerasan rumah tangga (baik fisik maupun non-fisik). Pelecehan perempuan
saat di angkotan umum (dicolek, grepe-grepe),
pandangan tajam ketika perempuan menjadi sopir angkot dan masih banyak lagi.
Lalu? Bagaimana perempuan-perempuan
sekarang yang masih mengalami diskriminasi terhadap gender?
Pertanyaan itulah yang
terpenting, yang perlu dijawab oleh saya selaku “Public Health” untuk melakukan
pendekatan-pendekatan dalam pengurangan diskriminasi gender. Misalnya, berkecimpung
dalam sebuah LSM yang menyuarakan suara perempuan, pemerintah juga perlu
membuat kebijakan terhadap diskriminasi gender, jika memang sudah ada, lakukan
lah kebijakan tersebut sebagaimana mestinya dan ditegakkan sedail-adilnya.
“Habis Gelap Terbit lah Terang”,
jika memang sudah ‘gelap’ yang berkepanjangan ini menggelayuti perempuan, kapan kah ‘terang’ itu datang, kalau bukan
sekarang kita tegakkan bersama-sama.
***
menarik postingannya...semangat yaaa
BalasHapus